Opini Ulasan

UMP/UMK: Cukup Itu Pakai Rasa, Bukan Logika

Satu bulan terakhir timeline Twitter lokal area Jogja santer membicarakan tentang UMP/UMK (Upah Minimum Provinsi/Upah Minimum Kabupaten/Kota) di Daerah Istimewa Yogyakarta yang memang merupakan salah satu UMP/UMK paling rendah di Indonesia. Isu ini diangkat kembali oleh salah satu akun personal Twitter yang menamakan diri sebagai akun buruh Yogyakarta (BY) dan aktif sebagai representatif beberapa buruh di Yogyakarta jika dilihat dari engagement akun tersebut. Akun ini dengan menggunakan data survei dari DPD KSPSI (Konferensi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) DIY dengan Front Perjuangan Pemuda Indonesia DIY menyuarakan bahwa dengan UMK tersebut masih sangat kurang dan jauh dari angka KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Sedangkan KLH menurut data survei dari Pemerintah lewat Disnaker DIY, angka UMK masih lebih banyak dari KHL dengan selisih sekitar 160 ribu hingga 440 ribu rupiah.

Sumber: https://twitter.com/BuruhYogyakarta/status/1306192880432680960

Menyuarakan aspirasi untuk menaikkan angka UMK di DIY apalagi oleh sebuah akun sosial media personal dengan klaim tidak mewakili serikat apapun tentu saja sangat wajar. Menuntut kenaikan upah untuk para buruh sudah tentu menjadi hak seseorang untuk berpendapat. Yang menjadikan kasus ini unik adalah ketika mulai muncul narasi-narasi yang mengatakan seolah-olah beberapa orang dibutakan dengan beberapa media yang menurut akun BY ini terlalu ‘meromantisasi’ Jogja. Banyak yang menyebut Jogja romantis, istimewa, tapi mereka seakan dialihkan dari kenyataan bahwa upah kerja di Jogja terhitung rendah. Menurut saya pribadi, kasus angka UMK dengan romantisnya Jogja adalah dua hal yang tidak sebanding untuk diperdebatkan karena keduanya memiliki fokus yang berbeda. Tetapi karena narasi ini muncul, saya tertarik untuk mencari lebih dalam sebenarnya apa yang sedang terjadi.

Saya mengajak beberapa orang berdiskusi membahas UMK/UMP Jogja dan Jateng untuk menjawab rasa penasaran bagaimana orang-orang Jawa Tengah dan DIY khususnya karena narasumber berasal dari dua daerah tersebut yaitu Borobudur dan Jogja, justru mendapatkan angka indeks kebahagiaan tertinggi di Indonesia dan berbanding terbalik dengan angka UMP/UMK DIY Jateng menurut survei dari BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2017. Menurut saya pribadi filosofi Jawa tentang bagaimana beberapa cara orang menikmati dan menghargai hidup sangat berpengaruh di sini. Dari sudut pandang ini lah saya mencoba untuk menggali bahwa bisa jadi beberapa orang memang menikmati hidup dan bukan terlalu meromantisasi, dan bisa jadi juga beberapa orang merasa sangat kurang dengan UMP/UMK yang ada dan itu hal yang wajar. Tetapi tidak bisa saling menyalahkan apalagi menjatuhkan, karena merasa cukup itu diukur dari rasa, bukan logika. Kita sulit untuk menyamaratakan ‘rasa cukup’ seseorang dengan orang lain.

Penulis bukan orang ekonomi, jadi tidak akan terlalu memaparkan perhitungan rinci dari segi ekonominya. Akan tetapi dalam menghitung UMP/UMK sudah jelas dihitung berdasarkan peraturan dari pemerintah pusat, bukan lagi kebijakan masing-masing daerah. Untuk detail penghitungan besaran UMP/UMK bisa dilihat di Kemnaker (Permen No.15 Tahun 2018. Intinya perumusan UMK sudah diatur. Lalu hubungannya dengan romantisasi Jogja sebelah mananya? Ya bisa saja kita tarik benang merahnya lewat bagaimana isi dari filosofi Jawa.

Ada yang menyebutkan “Wes angel nek ketemu wong sing nrimo ing pandum.” susah kalau sudah bertemu dengan orang-orang yang menerima apa adanya untuk diajak menyuarakan secara aktif kenaikan UMK Jogja. Ya memang begitu keadaannya. Yang saya tahu filosofi Jawa ini tidak hanya berhenti di “nerima ing pandum” akan tetapi “nrimo ing pandum, makaryo ing nyoto”. Memang benar menerima apapun pemberian, akan tetapi bukan ke kata ‘pasrah’. Saya mengartikannya sebagai menerima apa yang sudah menjadi rejeki masing-masing sesuai porsinya dengan tetap bekerja sebaik mungkin. Nah menghitung porsi ini yang mungkin akan membedakan. Apalabila kita bekerja cerdas apapun itu pekerjaannya ya pasti porsi kita ikut menyesuaikan apa yang kita kerjakan. Untuk beberapa orang mereka merasa tidak perlu menuntut ataupun memaksa untuk digaji lebih. Kinerja mereka yang terkadang mencerminkan bahwa oh mereka memang pantas untuk dibayar lebih tinggi. Terkadang kita yang harus mencoba mengevaluasi diri apakah gaji yang kita terima sudah sebanding dengan kinerja yang kita berikan. Beberapa kasus yang terjadi adalah korupsi waktu yang dilakukan oleh beberapa oknum seperti meninggalkan pekerjaan sebelum jam kerja berakhir yang membuat pelayanan masyarakat terganggu, dsb.

Masih ingat Raeni, seorang anak dari Bapak tukang becak yang berhasil menguliahkan anaknya, hingga sekarang Raeni lulus S3 dari London, Inggris? Hingga Raeni lulus S1 pekerjaan ayahnya berprofesi sebagai tukang becak, yang kalau secara angka dihitung logika menurut beberapa orang mungkin tidak cukup. Tetapi ternyata cukup. Ada bahkan yang menyebutkan bekerja itu hanya sebatas status. Gaji utama bukan dari bekerja sebagai buruh, akan tetapi mereka juga melakukan usaha sampingan yang menjadi utama malahan seperti bertani dan beternak. Akan selalu cukup jika kita merasa cukup, akan terus diusahakan kalau dirasa belum cukup. Sekali lagi cukup itu pakai rasa, bukan logika.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan pihak manapun apalagi sampai ada kepentingan tertentu. Tidak. Tulisan ini adalah opini pribadi penulis. Kalau memang ternyata ada ‘kepentingan’ di dalam kasus ini yaaa itu sudah bukan porsinya saya. Bodo amat hehe. Saya hanya mau mengajak teman-teman yang membaca tulisan ini untuk terus berbahagia, melakukan usaha terbaik, dan menerima apa yang sudah menjadi porsi atas usaha kita tanpa harus menyudutkan orang lain.

Terakhir, penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak untuk teman-teman sekaligus guru yang sudah mau diajak untuk berdiskusi dengan topik yang cukup rumit ini hehe, yang pertama untuk editor tulisan ini yaitu Mas Agung, kemudian Pak Muslich dan Mas Jo, semoga semuanya berbahagia dan sehat selalu 🙂

Baca tulisan sebelumnya: https://dyastunia.com/travel/museum-sonobudoyo/

1 thought on “UMP/UMK: Cukup Itu Pakai Rasa, Bukan Logika”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *