Hari jadi suatu daerah biasa terjadi setiap tahun. Hal yang membuatnya berbeda adalah bagaimana setiap individu memperingati hari jadi itu. Ada yang merayakannya dengan berpartisipasi di beberapa acara hiburan baik menjadi pelaku seni atau menjadi penonton, ada yang tak acuh merasa biasa saja toh tidak berpengaruh, ada yang bernostalgia berada di daerah itu karena rindu kampung halaman, ada yang mengevaluasi diri sudah berkontribusi apa saja untuk kampung halaman, dan ada juga yang benar-benar tidak peduli karena jangankan mau memperingati hari jadi, pikiran sudah terlalu sibuk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kamu yang mana?
Pada akhirnya jawabannya sama saja karena apapun yang kita lakukan menjadi penting. Peringatan hari jadi menjadi wadah sebuah pengharapan untuk terus menjadi lebih baik. Kemarin, 27 Mei, adalah hari jadi Kabupaten Gunungkidul ke-189. Angka yang sudah sangat dewasa, matang, tetapi bukankah kita sering mendengar bahwa dewasanya seseorang tidak ditentukan oleh angka atau umur? Iya. Angka ini akan terus bertambah setiap tahun. Lalu apa yang membuatnya dewasa? Orang-orang di dalamnya.
Sudah lihat logo hari jadi tahun ini? Visualnya mungkin sudah. Apa yang belum dilihat? Walaupun penulis bukan orang yang berkecimpung di bidang desain grafis, penulis merasakan bahwa membuat logo adalah salah satu yang tersulit. Logo adalah tentang visual, makna, dan citra. Dari laman Setda Kabupaten Gunungkidul dijelaskan bahwa angka 189 membentuk siluet salah satu tokoh wayang yaitu Arjuna, seorang ksatria berwajah tampan yang mencerminkan kondisi alam Gunungkidul yang rupawan. Berwarna emas yang berarti simbol kejayaan atau pencapaian dari cita-cita dan harapan bahwa Gunungkidul semakin dikenal luas hingga seluruh dunia. Visual dan makna bersatu membentuk citra Gunungkidul yang menggambarkan kondisi wilayah dengan potensi pariwisata yang cukup baik. Keren. Satu gambar logo menyajikan visual sarat makna menyampaikan citra membentuk identitas.
“Daerahmu susah air ya?”
“Kalau ke rumahmu harus pakai passport nggak?”
“Oh yang pulung gantung itu ya?”
“Terus mandi enggak kamu?”
Apakah kamu masih sering mendengarkan pertanyaan-pertanyaan di atas? Kalau penulis masih sering. Tipe bercanda yang biasa saja. Standard. Mungkin dulu sedikit kesal, akan tetapi ya sudah memang orang lain akan terus mengatakan seperti itu. Apa yang tersirat di pikiran tanpa pikir panjang, itu yang disampaikan. Apa adanya. Bukan basa-basi. Hanya bercanda. Bukan masalah juga. Terserah hehe. Tidak harus membuktikan apa-apa ke mereka, biarkan. Justru pertanyaan-pertanyaan itu menjadi unik. Unik dari sisi manapun. Definisikan sendiri unik menurutmu seperti apa.
Sampai di paragraf ini apakah kamu merasa bingung sebenarnya inti yang ingin disampaikan penulis di tulisan ini letaknya di mana? Dengan bahasa semrawut kurang memerhatikan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar penulis ingin menyampaikan bahwa di umur yang sudah 189 tahun ini, warganya akan terus berganti, tetapi warisannya akan tetap ada. Kita mau membawa citra ini ke arah mana kita yang akan menentukan. Pada akhirnya kembali ke warganya, manusia-manusia yang hidup di dalamnya. Sesederhana apapun yang kita lakukan sekarang itu yang menjadi penting. Secara tidak langsung kita adalah wajah terdepan tempat kita tinggal di manapun berada. Mau tidak mau.
Penilaian orang pasti akan selalu berbeda, terlebih sisi negatif terkadang lebih banyak daripada sisi positif. Sudah seperti sistem alam, hal itu terjadi secara alami. Memang keadaannya seperti itu mau bagaimana lagi? Yang terpenting adalah menjadi bahagia. Isi bahagia dengan apa yang kita suka dan yakini benar dengan tetap memerhatikan sekitar. Mau dibilang Gunungkidul seperti apa, kita yang menentukan dengan berkarya, dan dengan tidak melakukan apa-apa. Sama saja yang penting berbahagialah 🙂