Menuntut Ilmu sampai Negeri Tiongkok
Ada pepatah lama yang bilang “Menuntut ilmu sampai ke Negeri China.” Perjalanan singkat saya, hanya dua setengah hari, ternyata cukup membuka mata untuk memahami mengapa negeri ini bisa tumbuh begitu pesat dengan memadukan modernitas dan warisan budaya. Selama 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia–Tiongkok, kita melihat bagaimana mereka tetap berada di depan, sementara kita sedang berproses menuju ke sana (walaupun jalan masih panjang hehe).
Dengan bekal terjemahan di ponsel, saya sempat berbincang dengan sopir taksi yang pulang pergi mengantar ke The Great Wall of China. Saat ditanya apa yang membuat orang di sini bekerja sangat keras, ia menuliskan di WeChat: “为了生活必须的努力工作啊” — “Working hard is essential for making a living.” Jawaban sederhana yang ternyata menjadi kunci: kerja keras untuk bertahan hidup.
Bandara Sebagai Wajah Pertama
Bagi saya, bandara adalah gambaran pertama seberapa maju sebuah negara. Beijing mempunyai dua bandara besar: Beijing Capital International Airport (PEK) yang dekat dengan pusat kota, dan Beijing Daxing International Airport (PKX) yang berjarak sekitar satu jam. PKX begitu memukau dengan luasnya melebihi PEK, dengan desainnya yang sangat futuristik. Menurut World Economic Forum bandara ini disebut sebagai yang terbesar di dunia. Menariknya, desainnya tetap memasukkan prinsip arsitektur tradisional Tiongkok, sehingga modernitasnya tetap dipadu dengan sentuhan budaya.



The Great Wall of China
Tak lengkap rasanya berkunjung ke Beijing tanpa menjejakkan kaki di Tembok Besar China. Bayangkan, fondasinya sudah ada sejak tahun 7 SM, dan penyempurnaannya dilakukan hingga era Dinasti Ming di abad ke-14 hingga 17. Panjang totalnya mencapai 21.196 km.
Saya memilih jalur di Mutianyu. Ribuan tangga curam memang cukup melelahkan, tetapi ada opsi cable car bagi yang ingin lebih santai. Dari atas, pemandangan bukit dan bentangan tembok terasa seperti melintasi waktu, menyaksikan langsung karya peradaban ribuan tahun yang lalu.





Sanlitun: Modern dan Kosmopolitan
Malam harinya, saya menyempatkan mampir ke Sanlitun, kawasan modern yang menjadi ikon gaya hidup urban Beijing. Di sini terdapat pusat perbelanjaan, restoran internasional, hingga hiburan malam yang ramai, bahkan ada Adidas flagship store terbesar di Tiongkok. Menariknya, Sanlitun dulu hanyalah kawasan biasa. Baru setelah reformasi ekonomi di akhir abad ke-20, daerah ini ditata ulang menjadi destinasi kosmopolitan dan favorit para ekspatriat. Kini, suasananya benar-benar mencerminkan Beijing sebagai kota global.







Wonderful Indonesia Business Matching 2025
Hari berikutnya diisi dengan kegiatan resmi: Wonderful Indonesia Business Matching (WIBM) 2025 di Hotel Four Seasons Beijing. Acara ini diinisiasi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, bersama KBRI Beijing dan INACHAM (Indonesia Chamber of Commerce in China).
Kegiatan cukup padat mulai dari investment forum, business matching, hingga networking dinner. Pesertanya pun beragam diantaranya para calon investor, agen perjalanan, media, hingga asosiasi bisnis. Kehadiran acara ini terasa istimewa karena bertepatan dengan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia–Tiongkok, sebuah momentum untuk memperkuat promosi pariwisata Indonesia di pasar Tiongkok.




Pulang dengan Kesan Mendalam
Hari terakhir terasa singkat. Pagi-pagi sekali saya harus berangkat ke PKX untuk penerbangan pulang. Menariknya, di tengah bandara modern ini terdapat China Garden yang memberikan suasana tenang sekaligus simbol bahwa tradisi tetap dijaga. Beijing meninggalkan kesan yang sulit dilupakan. Kota ini menunjukkan wajah modern dengan gedung pencakar langit futuristik, tetapi tetap setia merawat kuil kuno, taman tradisional, dan hutong. Harmoni inilah yang menjadikan Beijing bukan hanya pusat pemerintahan dan ekonomi, melainkan juga kota dengan jiwa sejarah yang kuat dan visi modern yang jelas.



Baca tulisan sebelumnya di sini: https://dyastunia.com/ulasan/yang-katanya-tempat-kerja-keren/