Opinion

Berhenti Menilai Seseorang dari Nilai Akademik

Tulisan kali ini berbahasa Indonesia, edisi khusus untuk hari Guru Nasional 2019. Tulisan yang sebenarnya ingin aku tulis sejak lama, namun akhirnya terus tertunda dan akhirnya jadilah tulisan ini. Bukan untuk menggurui siapapun, tetapi dibuat berdasarkan apa yang penulis alami ketika masih di sekolah yang pernah menjadi juara kelas, pernah ada di sepertiga ranking terbawah, pernah jujur dan pernah mencontek sampai ketahuan guru pengawas. Sampai akhirnya merasakan, ternyata bukan angka nilai yang menjadi ukuran suksesnya seseorang.

Nilai akademik, IPK, ranking kelas, tidak akan menentukan kesuksesanmu di masa depan. Itu benar. Bukan semacam teori, bualan, apalagi kata penyemangat semata. Dengan segala latar belakang keluarga, bakat dan minat yang murid punya, semua harus menerima materi dari A-Z, menghafal rumus, sejarah, bahasa asing. Ya itu memang bagus untuk menambah pengetahuan siswa. Akan tetapi pintar dan tidak pintarnya seorang murid tidak bisa dilihat hanya dari nilai Matematika si A yang bagus, si B yang jelek. Bisa jadi karena bakat mereka memang bukan di pelajaran menghitung. Bisa jadi ada bakat lain yang tidak bisa diketahui guru di kelas. Apakah semua orang harus mahir di segala bidang? Tidak. Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya dialami oleh si murid itu sendiri.

Guru sebagai pengajar, jembatan antara murid dan dunia nyata seharusnya lebih sadar bahwa suksesnya murid berasal dari kemauan mereka untuk terus belajar, semangat mereka untuk mempelajari hal baru, dan jiwa pantang menyerah ketika mereka dihadapkan dengan masalah. Guru mendidik seperti mereka membesarkan anak mereka sendiri, berjalan bersama untuk menyiapkan masa depan yang lebih terarah. Bukan perkara angka di nilai raport atau IPK, tetapi nilai hidup, nilai dari cara mereka mengerjakan sesuatu untuk terus berkarya. Guru menemani dan mengajarkan bagaimana untuk terus bersikap tenang dan cerdas dalam menghadapi masalah berdasarkan pengalaman yang mereka punya. Itu salah satu hal yang perlu ditanamkan kepada murid.

Di Jogja, ada sebuah universitas yang menggelar konser musik dengan tempat duduk ditentukan berdasarkan IPK para mahasiswanya. Ya sah sah saja kalau universitas itu mau membuat acara seperti itu. A_ Yoo nonton konser yooo B_ ipkmu berapa_ hahahah (3)Tetapi mari kita pikirkan lagi. Konser musik itu dinikmati oleh para penikmat musik. Ada yang lebih memilih menikmati konser dengan duduk di tengah, depan, pinggir, festival atau berdiri sepanjang konser. Mahasiswa yang mempunyai IPK tinggi berada di baris paling depan, terus kenapa? Hubunganya apa? Yang sebenarnya benar-benar penikmat konser malah hanya bisa menonton dari pojok atas tribun. Terus kenapa? Bikin konser buat apa? Buat penyemangat mahasiswa punya IPK tinggi. Biar apa? Esensi dari konser musik menjadi kurang, ya karena memang bukan untuk menikmati musik dari pengisi acara, akan tetapi jadi ajang pemicu mahasiswa untuk memperoleh IPK tinggi. Terserah yang punya anggaran kan ya hehe.

Mereka pemegang selempang Cumlaude yang sukses jumlahnya banyak. Mereka yang menjadi orang sukses dengan IPK di bawah 3 ketika masih kuliah juga tidak kalah banyak. IPKmu rendah? Tenang!! IPKmu tidak mengatur hidupmu.

Kalian kaum terdidik, guru-guru panutan bangsa, jadilah benar-benar panutan. Takdir suksesnya seseorang memang sudah digariskan, sisanya kita yang terus berusaha. Jangan patahkan mimpi mereka hanya karena angka. Tidak ada gunanya. Selamat hari Guru Nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *